Pada
masa penjajahan jepang yaitu pada tahun 1942-1945 banyak gadis
pribumi yang diculik dan kemudian dijadikan budak seks oleh para
tentara jepang. Mereka yang dikenal dengan sebutan Jugun
Ianfu
itu telah diperkosa dan dipaksa tinggal di barak-barak tentara jepang
Ian-Fo
selama
bertahun-tahun.
Perang Dunia II
memang sudah berakhir sangat lama namun ternyata warisan kepahitan
masa silam masih dirasakan ribuan perempuan di Indonesia yang
dijadikan budak seks pada masa itu. Sekarang kita tidak lagi
berperang melawan Jepang namun para mantan Jugun
Ianfu
itu masih terus berjuang untuk mendapatkan hak hidupnya yang telah
terampas dan terkoyak.
Beralasan
jika mereka terus berjuang sebab perempuan itu terus menanggung
derita yang tidak berujung meskipun mereka sudah sangat renta. Di
barak-barak tentara Jepang, mereka mengalami kekerasan seksual.
Banyak juga diantara Jugun
Ianfu
itu yang masih berusia 13 tahun, mereka dipaksa melayani hasrat
seksual tentara Dainippon.
Itu
semua merupakan catatan kelam dalam sejarah perempuan Indonesia.
Sudah lama mereka menuntut pemerintah Jepang memberikan ganti rugi
atas penderitaan mereka tapi entah sampai sekarang apakah tuntutan
itu telah dikabulkan?
Tahun 1942 tentara
Jepang masuk ke Indonesia. Mereka menyebar ke seantero nusantara.
Ketika
sedang berjalan-jalan di suatu siang, Emah Kastimah bertemu dengan
tentara Jepang. Dia lalu dibawa ke rumah orangtuanya. Tentara Jepang
bertemu dengan ibunya dan mengatakan bahwa Emah mau dipekerjakan.
Waktu itu emah tidak tahu mau dipekerjakan sebagai apa. Tentara
Jepang lalu membawanya ke sebuah tempat. Dia diminta menunggu tanpa
kejelasan menunggu apa.
Setelah
itu dia dimasukkan ke sebuah bangunan berupa rumah yang dibangun
semasa Belanda. Temboknya kekar, kusen dan pintunya tinggi-tinggi
sekitar dua meteran. Di rumah tersebut sudah berkumpul perempuan
pribumi yang tidak satupun dikenalnya.
Di
rumah inilah Emah dipaksa menjadi Jugun
Ianfu
dan harus melayani nafsu seks tentara Jepang dan para sipir.
Mengetahui Emah dijadikan budak seks tentara Jepang, ibu dan bapaknya
menangis.
Usia
Emah 80 tahun ketika datang di acara Kick Andy (Metro TV). Dia masih
ingat betul di mana dia dulu disekap di sebuah rumah di Bandung.
Kepada tim Kick Andy, Emah menunjukkan sebuah bangunan tua di jalan
tersebut. Di rumah inilah Emah mengalami penderitaan yang sangat
dalam. “Saya
dipaksa melayani tentara Jepang tanpa mengenal waktu. Kalau malam
hari orang-orang berpangkat. Kalau pagi sampai sore giliran yang
lain”,
katanya.
Penderitaan yang
begitu panjang juga dialami Mardiyem. Saat dijadikan Jugun
Ianfu
usianya baru 13 tahun (belum menstruasi), Mardiyem dipaksa tentara
Jepang untuk melayani rekan-rekan mereka.
Pada
mulanya Mardiyem juga tidak tahu bahwa dirinya akan dijadikan budak
seks tentara Jepang. Waktu itu, tahun 1942 dia tinggal bersama
orangtuanya di Yogyakarta. Begitu tentara Jepang menyerbu, dia dibawa
ke Telawang, Kalimantan. Setibanya di kota itu, dia dimasukkan ke
kamar, disuruh berdandan. Setelah itu dibawa ke rumah sakit militer.
Ketika dijebloskan ke kamp, sudah ada 24 orang yang menunggu
melampiaskan hasrat seksualnya. Pada hari pertama sejak pagi hingga
pukul 14.00 Mardiyem sudah melayani enam orang tentara Jepang. Mereka
sadis, darah mengalir dari vaginanya, namun tentara Jepang tidak
peduli. Mardiyem cuma bisa berpikir dalam hati seraya menangis.
Mardiyem
sempat berpikir bahwa tidak lama lagi dia pasti mati. Melawan
kematian, Mardiyem berontak, dengan sekuat tenaga menendang tentara
yang melampiaskan nafsu seksnya ke tubuhnya yang rapuh. Tapi dalam
posisi seperti itu Mardiyem juga sempat bertekad lebih baik mati dari
pada hidup diperlakukan seperti itu.
Tuhan
belum menghendaki dia mati. Mardiyem terus berjuang menuntut
pemerintah memberikan ganti rugi atas masa lalunya yang kelabu hingga
ke negeri Belanda.
Dalam
memperlakukan perempuan-perempuan yang dijadikan budak seks itu,
tentara Jepang punya sistem dan prosedur. Untuk bisa memakai Jugun
Ianfu,
tentara Jepang harus membeli tiket seharga 2,5 yen untuk tentara dan
3,5 yen untuk sipir. Pada malam hari para Jugun
Ianfu
menjadi haknya tentara dengan pangkat tinggi.
Para
Jugun
Ianfu
memang mendapat bayaran berupa kupon. “Tetapi
saya tidak pernah dapat uang yennya,”
kata Mardiyem. Para perempuan itu baru dikembalikan ke kampung
halamannya setelah (menurut istilah Mardiyem) jebol atau vaginanya
tidak bisa dipakai (rusak) atau Jugun
Ianfu
hamil.
Bagaimana
kalau menolak melayani? “Kalau
tidak mau melayani saya dihajar, dipukul dan dibanting”,
jawab Mardiyem. Ketika usia 15 tahun Mardiyem hamil. Tentara jepang
lalu membawanya ke rumah sakit Ulin. Astaghfirullaah...
di rumah sakit ini, dengan kawalan tentara jepang, kandungannya
digugurkan dengan cara perutnya ditekan-tekan sampai janin keluar.
Sebulan setelah itu Mardiyem dipaksa melaksanakan tugasnya lagi
sebagai Jugun
Ianfu.
Dia berusaha menolak tapi apa lacur. “Saya
dihajar habis-habisan,” kata
Mardiyem pada Andy. Saat tampil di Kick Andy Mardiyem berusia 78
tahun.
Tahun
1945 merupakan tahun berkah bagi Mardiyem, tentara Jepang akhirnya
hengkang dari Indonesia. Waktu itu Mardiyem pergi ke Kapuas lalu ke
Banjarmasin. Di kota ini dia bertemu dengan laki-laki asal Yogyakarta
bernama Mingun. Mingun bekas tawanan Jepang. Mardiyem menikah
dengannya meskipun mengaku sudah tidak bisa jatuh cinta lagi. “Yang
saya butuhkan darinya hanya kasih sayang layaknya kasih sayang
orangtua kepada anak. Selisih usia Mingun dan saya 22 tahun. Dia baik
sekali, menurut dan tidak pernah menyinggung masa lalu saya,”
katanya.
Sementara itu Emah
kembali ke kampung halamannya di Jawa Barat setelah Jepang menyerah.
Dia kemudian menikah. Namun perjuangan Emah dan Mardiyem belum
selesai. Keduanya menuntut agar nasibnya diperhatikan pemerintah
Jepang.
Di
Belanda, Mardiyem memberikan kesaksian di Pengadilan Internasional
Perbudakan Militer Jepang. “Ketika
mereka tahu saya hamil lima bulan, dengan dikawal militer jepang,
saya dibawa ke rumah sakit Ulin. Saya diaborsi dengan cara ditekan
paksa.”
Begitu antara lain kesaksian Mardiyem.
Tuntutan
lain Mardiyem, pemerintah Jepang hendaknya mengaku salah dan minta
maaf atas kesalahan yang pernah dilakukan, terutama terhadap para
Jugun
Ianfu.
“Pemerintah
Jepang dan Indonesia harus jelaskan kepada publik khususnya generasi
muda. Sebab mereka tahunya kami hanya pelacur. Karena mereka memang
belum paham,” katanya.
Menurut
Nursyahbani, pemerintah Jepang menolak memberikan kompensasi secara
resmi untuk para Jugun
Ianfu.
Pemerintah Jepang menyatakan bahwa kompensasi yang diberikan lewat
ASEAN Women
Fund
sebagai usaha kerohiman yang diterima masing-masing negara yang
warganya dijadikan Jugun
Ianfu
sudah cukup. Nursyahbani menganggap pemerintah Jepang belum
memberikan kompensasi apapun menyangkut ulah tentara Jepang pada
Perang Dunia II yang menjadikan perempuan di sejumlah negara sebagai
budak seks.
Selain
Indonesia, perempuan yang juga dijadikan budak seks tentara Jepang
adalah Belanda, Filipina, Korea Selatan, Korea Utara, Thailand, dan
China. Berdasarkan keputusan Pengadilan Internasional di Den Haag,
Belanda pada bulan Desember 2000, uang kompensasi memang diberikan
oleh Jepang namun yang menerimanya adalah pemerintah Indonesia dan
uang itu dipakai untuk membangun panti jompo.
Menurut Eka
Hindrati, aktivis jaringan Jugun
Ianfu,
pengadilan negeri Batavia pada 1946 sudah memutuskan memberikan
hukuman kepada tentara Jepang yang memaksa perempuan Belanda menjadi
Jugun
Ianfu,
tapi hukuman itu tidak menyangkut kasus Jugun
Ianfu
dari Indonesia. Setelah itu, Pengadilan Internasional Militer Timur
Jauh di Tokyo juga memberikan putusan berupa hukuman untuk para
tentara Jepang yang bertindak brutal, tapi itu tidak ada kaitannya
dengan Jugun
Ianfu.
Eka
Hindrati menyatakan akan tetap berjuang demi rasa keadilan bagi para
Jugun
Ianfu.
“Sebab
Jepang sampai sekarang belum bertanggung jawab secara politik untuk
minta maaf dan memberikan kompensasi. Kompensasi yang kami maksud
bukan karena para Jugun Ianfu minta dibayar karena dulu tidak dibayar
tapi lebih menyangkut keadilan,” katanya.
Beralasan
jika Eka Hendrati mengungkapkan tekad seperti itu, sebab Pengadilan
Internasional di Denhaag Belanda memutuskan bahwa pemerintah Jepang
bersalah dan diwajibkan memberikan ganti rugi kepada para mantan
Jugun
Ianfu
di masa Perang Dunia II.
Bahwa pemerintah
Jepang harus bertanggung jawab bisa disimak dari pengakuan dua mantan
tentara jepang yang pada tahun 1942-1945 ditugaskan di negara
jajahannya. Salah seorang diantaranya memberikan pengakuan seperti
ini:
“Saya
datang pertama kali ke sana pada 1943. Tempatnya di area Linqing.
Waktu itu kami menganggapnya betul-betul sebagai rumah bordil. Di
penampungan kami harus membayar sedangkan memperkosa tidak perlu.”
Mantan
tentara ini juga mengaku pernah memperkosa pada tahun 1943 saat dia
dan kawan-kawannya menyerbu sebuah desa. “Seseorang
dari kami menarik gadis berusia 21 atau 22 tahun. Kami berenam saling
mengundi siapa yang pertama, lalu satu persatu kami memperkosanya.”
Mantan
tentara lain memberikan kesaksian bahwa di dunia militer perkosaan
adalah sesuatu yang wajar sama halnya dengan bertempur.
Bukan hanya mantan
Jugun
Ianfu
asal Indonesia yang berjuang menuntut keadilan dan kompensasi, para
Jugun
Ianfu
asal Korea Selatan pun juga demikian. Kim Moon Hwan, periset Jugun
Ianfu
Korea mewakili pemerintah Korea Selatan merasa perlu datang ke
Indonesia untuk melacak keberadaan mantan Jugun
Ianfu
asal Korea Selatan yang kemungkinan masih ada di Indonesia. Menurut
dia pada 1942-1945 ada ratusan Jugun
Ianfu
asal Korea yang pernah tinggal di Indonesia. “Saya
dengar ada yang tinggal di Pontianak. Kalau ketemu kami akan
meluruskan sejarah,”
katanya di Kick Andy.
Jika
pemerintah Korsel berjuang seperti itu sungguh amat disayangkan jika
pemerintah Indonesia menjadikan dana kompensasi yang pernah
diterimanya diserahkan ke panti jompo. Kenyataan seperti inilah yang
disayangkan aktivis koalisi perempuan Indonesia Diyah Bintarini.
Mardiyem
sendiri ketika ditawari apakah mau tinggal di panti jompo, dengan
tegas menolak. “Di
panti jompo memang enak bisa makan gratis, diberi pakaian bagus, tapi
saya tidak mau. Saya akan berjuang sampai titik darah pengahbisan,”
kata Mardiyem. [Sayang
perjuangan Mardiyem akhirnya kandas. Pada akhir 2007 Mardiyem menutup
usia selama-lamanya. Perempuan ini tidak sempat menikmati
perjuangannya yang panjang dan melelahkan itu.]
Hal
yang sama juga diungkapkan Emah,
“Lebih enak tinggal di rumah sendiri”.
Sedangkan
titik darah penghabisan benar-benar telah dialami Suhanah. Ketika
berusia 14 tahun Suhanah diculik tentara Jepang lalu diperlakukan
layaknya seorang pelacur.
Perempuan
asal Cimahi, Jawa Barat itu tanggal 17 Maret 2006 meninggal dunia
setelah mengalami pendarahan dalam keadaan stress berat. Rahimnya
mengalami pendarahan di usia 80 tahunan.
Bersama
Mardiyem dan Emah, Suhanah juga memberikan kesaksian di Pengadilan
Internasional Perbudakan Seksual Jepang pada bulan Desember 2000. Di
sidang internasional itu dia berharap pemerintah jepang meminta maaf
kepada dirinya.
Yang
menyedihkan, Suhanah pernah dikucilkan warga desa, ada yang bilang
dia bekas pelacur. Suhanah menikah dua kali. Yang pertama berakhir
dengan perceraian karena mertuanya mengetahui Suhanah bekas Jugun
Ianfu.
Setelah itu Suhanah menikah lagi hingga dia meninggal dunia.
[Referensi:
Kick Andy Kumpulan Kisah Inspiratif (Menonton dengan Hati)]
No comments:
Post a Comment