Masih ingatkah pembaca dengan terpidana kasus malpraktik
yang berakibat meninggalnya salah seorang ibu saat setelah melahirkan
anaknya, yang sempat menyita perhatian pemerhati dan praktisi
kesehatan, media serta masyarakat? Yup
dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani Sp.OG, ternyata hanya tiga bulan saja
menghuni Rutan Malendeng, Manado. Terhitung sejak tanggal 7 Februari
2014 dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani Sp.OG serta dua rekannya, dr.
Hendry Simanjuntak Sp.OG dan dr. Hendy Siagian Sp.OG, dapat menghirup
udara bebas. Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan permohonan
Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Ayu cs.
Bebasnya tiga terpidana itu diputus dalam sidang PK yang
dihadiri lima hakim agung, yang diketuai oleh Mohammad Saleh. Saat
dikonfirmasi, Humas MA, Ridwan Mansyur menyampaikan Majelis PK
menyatakan pemohon PK tidak menyalahi SOP dalam menangani operasi
Section Caesarea. Hal
ini berarti putusan Judex Jurist
(MA) awal November 2013 yang memutuskan dr. Ayu cs bersalah dan
divonis 10 bulan batal. PK menyatakan pertimbangan Judex
Factie (Pengadilan Negeri) yang memutuskan
dr. Ayu cs tidak bersalah sudah tepat dan benar. Dalam putusannya
majelis PK meminta agar tiga terpidana segera dibebaskan dan nama
baiknya dipulihkan. Namun lima hakim tsb tidak bulat dalam
mengabulkan PK Ayu cs, hakim Surya Jaya mempunyai pendapat lain
(Dissenting Opinion).
Untuk menyegarkan ingatan kita tentang kasus tsb akan
saya coba jabarkan kronologis kejadian. Kasus tsb berawal ketika dr.
Ayu dan dua rekannya, dr. Hendry dan dr. Hendy menangani pasien
bernama Julia Fransiska Makatey yang melahirkan anak keduanya pada
tahun 2010 melalui operasi caesar.
Saat operasi keluar darah hitam yang menandakan pasien kehabisan
oksigen. Sang ibu yang malang itu pun meninggal dunia tak lama
setelah putrinya bernama Flora Notanubun, berhasil dikeluarkan.
Emboli (gelombang udara) yang masuk ke jantung ibu tsb dituding
sebagai kelalaian dokter sehingga Ayu cs dipidanakan.
Pidana terhadap dr. Ayu cs memancing reaksi para dokter
se-Indonesia. Sebagian besar dari mereka serentak memprotes putusan
tsb dengan cara mogok praktik selama sehari pada tanggal 27 November
2013, akibatnya banyak pasien terlantar.
Saat dihubungi wartawan Jawa Pos di Kejaksaan Agung
tanggal 7 Februari 2014, Setia Untung Arimuladi selaku Kepala Pusat
Penerangan Hukum, ketika ditanya apakah ada upaya hukum dari
kejaksaan untuk mengajukan PK tandingan atas putusan MA tsb, beliau
hanya menjawab diplomatis, “kami pelajari dulu putusannya, tidak
bisa bicara sembarangan.”
Sementara itu rekan seprofesi Ayu dkk, Nurdadi Saleh
selaku Ketua umum Perkumpulan Obsetri Ginekologi Indonesia (POGI)
menyambut baik putusan MA tsb. Beliau pun menyampaikan terima kasih
kepada seluruh pihak yang telah mendukung kebebasan rekan sejawatnya
itu. Kejadian ini akan menjadi pelajaran berharga bagi kami semua.
Menurut Nurdadi pihak dokter akan lebih berhati-hati dan akan
memperbaiki bentuk komunikasi dengan pasien maupun keluarga pasien
agar dapat memberikan pelayanan kesehatan terbaik untuk masyarakat.
Sementara itu Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan
Indonesia (YPKKI) yang sejak awal menuntut Ayu dkk. diadili
menyatakan akan menghormati putusan MA tsb. Meskipun begitu, direktur
YPKKI, Marius mendesak pemerintah melalui Kementerian Kesehatan untuk
lebih tegas terhadap masalah patient safety.
Beliau meminta agar pemerintah mewajibkan
para pelayan kesehatan memberlakukan patient
safety sesuai dengan ketentuan WHO tahun
2002. Didalamnya disebutkan perlu ada norma, standard pelayanan,
pedoman, dan peraturan global lainnya agar pasien selamat, begitupun
pemberi layanan.
Kesadaran
akan hal tsb yang masih kuranglah yang perlu terus diperbaiki. Jangan
sampai pasien tidak mendapat pelayanan yang baik, dan takut
memintanya, serta pemberi layanan juga takut mengambil tindakan
terbaik.
[Sumber:
Harian Jawa Pos 8 Februari 2014]
No comments:
Post a Comment